Yamin, Soepomo dan Pengakuan Masyarakat Adat dalam Konstitusi
Adatpedia – Muhammad Yamin dan Soepomo adalah dua di antara para pendiri Negara Republik Indonesia yang paling mengerti dengan masyarakat adat. Dua tokoh inilah yang banyak membahas pengakuan terhadap hak masyarakat adat dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Lembaga ini dilantik pada 28 Mei 1945, sekitar 78 tahun yang lalu dari Mei 2023 saat ini. BPUPK beranggotakan 67 tokoh, termasuk Soepomo dan Yamin, selain Radjiman Wedyodiningrat (ketua), Sukarno dan Mohammad Hatta.
Jabalnur dalam Buku “Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Wilayah Taman Nasional” menulis, dalam sidang-sidang BPUPK, hanya Soepomo dan Yamin yang mengemukakan pendapat tentang perlunya mengakui keberadaan hukum adat dalam konstusi yang sedang dirancang.
Yamin mengatakan, kesanggupan dan kecakapatan Bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah telah muncul sejak beribu tahun yang lalu.
Yamin mencontohkan, hal tersebut dapat diperhatikan dari susunan persekutan hukum seperti desa di Jawa dan nagari di Minangkabau, seperti daerah lainnya di Nusantara seperti Borneo, Bugis, Ambo dan Minahasa.
“Susunan itu begitu kuat, sehingga tidak bisa diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, feodalisme maupun Eropa,” kata Yamin. Ia mengusulkan, persekutuan hukum adat itu menjadi basis perwakilan dalam pemerintahan RI.
Sementara, Soepomo saat menjadi ketua Panitia Kecil Perancang Hukum Dasar menjabarkan lebih detail soal pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang disebut sebagai hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa.
AT Soegito dalam Buku “Prof. Mr. Dr. R Supomo” menulis, ahli hukum adat tersebut kemudian menerangkan secara detail pasal per pasal yang dirancang kepada sidang BPUPK.
“Panitia mengingat kepada, pertama, adanya sekarang kerajaan-kerajaan, kooti-kooti, baik di Jawa maupun di luar Jawa dan kerajaan-kerajaan dan daerah yang meskipun kerajaan, tetapi mempunyai status zelfbestuur,” kata Soepomo.
Selain itu, menurutnya, juga perlu diingat daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, yaitu Volksgemeinschaften… “Yang dimaksud ialah daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat sendiri,” tuturnya.
Misalnya di Jawa: desa, di Minangkabau: negari, di Palembang: dusun, di Tapanuli: huta, di Aceh: kampung. “Semua daerah kecil yang punya susunan rakyat, daerah istimewa tadi, jadi daerah kerajaan (zelfbesturende landschappen), hendaknya dihormati dan diperhatikan susunannya yang asli.”
Dalam penjelasan lebih lanjut, ia mengatakan, adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti dan sultanat-sultanat. “Tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara.”
Ia meminta jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah “zelfbesturende landschappen”. “Itu bukan negara sebab hanya ada satu negara. Jadi, zelfbesturende landschappen, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa,” tuturnya.
Jadi, menurutnya, daerah-daerah istimewa itu merupakan bagian dari Negara Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. “Begitupun adanya zelfstandige gemeenschappen, seperti desa, di Sumatera, negari (di Minangkabau), marga (Di Palembang). Yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”.”
Pemaparan yang disampaikan Yamin dan Soepomo tersebut, kemudian dimasukkan dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Hasil pembahasan tersebut termaktub dalam Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 18 pada Angka II selanjutnya disebutkan, dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Aturan dalam konstitusi tersebut – termasuk tentang masyarakat adat – kemudian berubah setelah amandemen yang digelar empat kali pada 1999-2002. Meski demikian, pengakuan terhadap hak masyarakat tetap relevan dengan pemaparan kedua pendiri bangsa itu.
Setidaknya, ada tiga pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen yang terkait dengan masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Selanjutnya, Pasal 28I ayat (3) yang berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Kemudian, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) yang masing-masing berbunyi, (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. (HM)