
Puncak Cerita Talang Mamak
Sagaf, 49 tahun, tinggal di Talang Ampang Delapan, berpuluh kilometer dari Rengat, ibukota Indragiri Hulu, Riau. Pagi itu, Rabu, 5 Februari 2020, dia sudah berada di kantor Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Indragiri Hulu (AMAN INHU). Adiknya, Gilung, menelepon kemaren sore, mengundangnya datang untuk mendiskusikan beberapa hal.
Kantor AMAN INHU berada di Belilas, sebuah ibukota kecamatan di tepi jalan lintas timur Sumatera. Dari Ampang Delapan, Belilas dihubungkan dengan jalan aspal kasar sejauh 24 kilometer. Belilas tak jauh dari ibukota INHU, Rengat, jaraknya hanya sekitar 11 kilometer. Dari Rengat, Belilas dapat dicapai melalui simpang empat di Pematang Reba. Ampang Delapan, tempat tinggal Sagaf, masuk ke dalam lingkup administratif Desa Durian Cacar Kecamatan Rakit Kulim.
Gilung sendiri sesungguhnya berdomisili di Talang Perigi. Rumah Gilung dan Sagaf hanya terpaut sekitar 5 kilometer. Dari Talang Perigi, pusat Kecamatan Rakit Kulim, Ampang Delapan harus ditempuh melalui jalan tanah bewarna kuning. Jalan utama di Talang Perigi sudah diaspal, tapi aspalnya tak seluruhnya baik. Di beberapa tempat, lubang menganga.
Pagi itu, Sagaf telah memulai segala aktivitas. Dia tengah berbicara dengan beberapa orang. Pembicaraan pagi itu berkisar seputaran pendataan sosial yang kini sedang dilakukan AMAN INHU.
Tak lama, Gilung tampak bicara dengan saudaranya itu. Mereka baku mengerti, terbukti dengan anggukan kepala berkali-kali.
“Nanti ke Ampang Delapan dengan kakak saya, Sagaf,” kata Gilung pada saya. Saya menurut apa yang dikatakan lelaki ini.
Perkenalan dengan Sagaf di kantor AMAN INHU kami lanjutkan Ketika kami sampai di rumahnya di Ampang Delapan, menjelang sore. Sagaf mengatakan, dirinya memang diminta Gilung mengantar saya ke rumah Batin Gundok, Kepala Kebatinan Ampang Delapan.
Rumah Batin Gundok tak jauh dari rumah Sagaf. Keduanya dihubungkan dengan jalan tanah kuning. Di tepi kiri kanan jalan, kebun sawit merajai sebagian besar tutupan tanah. Ada beberapa tempat yang ditanami karet, ada pula kebun campur dan beberapa titik kelompok perumahan yang sepi.
Saya melewati jalanan aspal hitam pada mulanya, lalu dilanjutkan dengan melintasi jalan tanah kuning keras. Beberapa lubang yang menganga tampak kering. Hujan belum turun.
Memasuki perkampungan orang Talang Mamak, bayangan saya tentang masyarakat yang hidup terasing seketika buyar. Tak tampak kehidupan terasing itu kini. Yang ada hanyalah sekelompok masyarakat yang hidup jauh dari kata modern. Rumah-rumah bergerombol dan menumpuk di pusat-pusat pemukiman. Di antara kelompok-kelompok rumah, kebun sawit, karet dan lahan perkebunan menyelingi.
Di rumah Sagaf, dia menceritakan, dinamika Talang Mamak cukup membuat banyak pihak resah. Di internal sendiri, keresahan bermula dari kondisi adat yang belum sepenuhnya tersistematika dengan baik.
Kepemimpinan adat, lanjut dia, telah diperebutkan banyak pihak lantaran berbagai alasan. Dia tak mau merinci alasan apa saja yang berpengaruh. Namun secara tersirat, Sagaf mengatakan faktor ekonomi menjadi pemicu lunturnya kepemimpinan adat. Ekonomi maksudnya, siapa yang menjadi pemimpin akan berpeluang mendapatkan sumber-sumber income atau pendapatan.
Akibatnya, struktur ini telah mengalami kemunduran. Banyak pihak kemudian mengaku sebagai Batin, Kepala Adat di wilayah Kebatinan. Wilayah kebatinan dikenal dengan istilah luak batin. Sementara batin sendiri adalah sebutan untuk kepala luak batin.
Kecuali itu, Sagaf juga menceritakan struktur utama dalam pemerintahan adat. Menurutnya, Talang Mamak dipimpin oleh tiga penghulu utama, mereka menyebutnya Patih. Tapi kini, istilah patih hanya digunakan untuk satu orang saja, yakni Patih Durian Cacar. Sementara yang lain tetap menggunakan istilah Batin, yakni Batin Talang Perigi dan Batin Talang Parit.
Tiga kesatuan kepemangkuan adat ini dikenal dengan istilah Payung Tiga Sekaki. Payung Tiga Sekaki, mulanya adalah kakak beradik yang membentuk pemerintahan adat Talang Mamak.
Bersumber dari ujaran adat1 yang disampaikan Irasan, Batin Talang Parit dan Rapan, Batin Talang Perigi:
“Kandal tanah Mekah, takilat Ujung Pandang, tarantang Pulau Jawa. Marabana Pulau Jawa, marabana Tiongkok, maapung-apung Benua Kaling. Kandal langkah antara gahap dengan tarang, bediri gunung marapi ganti tubuh. Kandal kuhala Sungai Limau, menjaram Sungai Tunu,
Kandal benua hawan, marabana tarikan tiang raya, malampu-lampu nagari Aceh.
Barulah kandal pulau nang lain-lain menjadi dua puluh lima kepulauan nang
ditunggu dua puluh lima nabi.
Baru lah disebut samik basir alam takalimun, ka bawah salaman tujuh, ka atas ka pintu lawang langit, sampai keubun-ubun langit, kemudian diatur oleh Allah (Rasul).
Diteruskan oleh Patih Nang Sabatang,
Dari Patih Nang Sabatang ke Patih Nang Betiga, setelah itu diteruskan ke luak kebatinan.
Baikpun secara adat maupun kepercayaan Islam terikat langkah lama.”
Kalimat “Dari Patih Nang Sabatang ke Patih Nang Betiga,…”, menunjukkan model kepemimpinan utama masyarakat adat Talang Mamak.
Ketiga pemimpin utama ini hingga hari ini masih ada di Talang Mamak. Irasan dan Rapan adalah dua di antaranya.
Secara adat, Sagaf tak tidak bisa langsung berhubungan dengan kedua batin. Sagaf mesti menghadap dulu kepada Batin Gundok, kepala Kebatinan di Ampang Delapan.
Agak rumit pada mulanya memahami struktur kebatinan di Talang Mamak. Saya dihadapkan pada minimnya sumber literasi yang menjelaskan hubungan adat dan istiadat orang Talang Mamak.
Tak berapa lama di rumah Sagaf, kami beranjak ke rumah Batin Gundok. Sagaf mengatarkan saya. Kami menuruni tangga kecil di depan pintu rumah Sagaf.
Sambil menuruni tangga, Sagaf tampak tersenyum kecil. Dia agaknya memerhatikan tubuh saya yang gamang ketika menuruni tangga. Anak tangga di rumah Sagaf terbuat dari kayu bulat berdiameter sekitar 20 sentimeter. Pada bagian injakan kaki, Sagaf menoreh kayu hingga membentuk tangga kecil mirip torehan anak tangga yang ada di pohon kelapa.
Rumah Sagaf sendiri merupakan rumah kayu persegi seukuran 12 kali 9 meter per segi. Tapak rumah dibuat agak tinggi dari tanah, sekitar setengah meter. Tapak rumah semacam itu – yang ditinggikan dari permukaan tanah – jamak ada di Talang Mamak.
Dugaan saya, struktur rumah yang ditinggikan itu merupakan kebiasaan yang sudah ada sejak lama. Hal tersebut dikonfirmasi Batin Rapan. Menurut dia, rumah orang Talang Mamak memang didisain lebih tinggi dari tanah. Seperti kebanyakan rumah para peladang, lantai yang ditinggikan dari tanah berfungsi sebagai gudang dan menghindarkan diri dari serangan binatang buas.
Tapi kini pondasi rumah yang ditinggikan bukan lagi berfungsi serupa. Di beberapa tempat, kolong rumah justru berfungsi sebagai kandang ayam.
Kedatangan saya ke rumah Gundok sebetulnya ingin mengonfirmasi banyak hal berkait dengan adat, budaya dan ancaman yang ada di hadapan orang Talang Mamak.
Ada banyak kisah bertebaran di lapangan. Saya masih dirundung penasaran dengan kisah-kisah orang Talang Mamak. Namun, saya mencoba kembali ke masa lalu. Pada 1930, seorang asisten residen Belanda bernama V. Obdeyn menceritakan tentang Langkah Lama. Dari penelusuran saya, Obdeyn tinggal di sekitar Japura atau Rengat selama beberapa waktu sebelum akhirnya menuliskan catatan bertajuk De langkah lama der orang Mamak van Indragiri.
Catatan itu dipublikasikan dalam sebuah jurnal terbitan Masyarakat Seni dan Sains Kerajaan Bataviaasch di Jakarta (Batavia) tahun 1930. Obdeyn sendiri menyelesaikan tulisannya pada Februari di tahun yang sama. Dengan kemampuan Bahasa Belanda nol, saya memanfaatkan teknologi untuk memahami catatan Obdeyn.
Obdeyn dalam catatan pembukanya mengatakan Langkah Lama berarti kembali ke awal adat dan kebiasaan, adat Talang Mamak yang masih sangat terikat hingga kini. Orang Talang Mamak berjuang mempertahankan itu dari pengaruh Islam dan Sultan.
Bila Talang Mamak dilihat lebih kategoris, mereka dapat dibedakan menjadi kelompok Tiga Balai dan kelompok Bukit Tigapuluh. Kelompok Tiga Balai dikaitkan dengan pengertian pusat populasi dan kebudayaan Talang Mamak, sementara kelompok Bukit Tigapuluh lebih dikaitkan dengan daerah perluasan pemukiman serta isu hutan dalam konteks Taman Nasional Bukit Tigapuluh saat ini. Pemukiman Talang Mamak di Bukit Tigapuluh dapat dipandang sebagai pemukiman satelit dimana penduduk tetap merujuk dirinya ke Tiga Balai sebagai asal muasal penyebaran mereka.2
Saya sesungguhnya masih dilanda kebingungan ketika mulai mengkategorikan, siapa Talang Mamak sesungguhnya? Apa yang disampaikan oleh Kurniawan dan Marahalim Siagian dalam risetnya agak mencengangkan. Karena kategori ini dibuat berdasarkan wilayah, dalam artian sebagai pusat populasi dan kebudayaan.
Sementara, peneliti terdahulu, William Singletone ,3 justru menyarankan agar melihat hubungan ekonomi kelompok-kelompok non muslim dalam konteks budaya non muslim yang terisolasi di kedua sisi selat Malaka, termasuk wilayah Sumatera dan Malaysia.
Talang Mamak, memiliki hubungan sejarah pembayaran upeti kepada kerajaan yang mengayomi mereka. Dalam konteks ini, kerajaan tersebut adalah kerajaan Indragiri. Singletone memfokuskan penelitian pada kelompok Tiga Balai dan hubungannya dengan Kerajaan.
Pemahaman mendalam terkait konteks ini, menurut Singletone sangat menarik jika ditilik dari hubungannya dengan Malaysia dan Minangkabau yang memperkenalkan Negara-serikat yang modern. Tapi saya tentu tak menyentuh ranah yang dia sebutkan itu.
Gundok membenarkan, saban tahun, orang Talang Mamak membayar kepada Raja Indragiri berupa hasil bumi dan beras. Baginya, pembayaran ini bukan dimaksudkan untuk membayar upeti, tapi lebih pada penyelarasan hubungan alam manusia dengan alam gaib, dalam hal ini Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
“Kami datang kepada Raja dua kali setahun, pada lebaran Idul Fitri dan Lebaran Idul Adha. Biasanya yang datang adalah Patih Durian Cacar, Batin Talang Perigi dan Batin Talang Parit,” ungkapnya.
Hubungan antara kedua Batin dan Patih ini akan dijelaskan pada bagian yang lain. Tapi setidaknya, sebagai pengantar, ketiganya merupakan pemangku adat tertinggi di Talang Mamak.
Dalam perjalanan saya, saya justru tertarik menilik pergeseran yang terjadi di Talang Mamak berkait pengelolaan sumber daya alam serta introduksi kepentingan ekonomi di dalam struktur budayanya. Hal ini tentu penuh dengan dinamika dan menarik jika dihubungkan dengan kondisi mutakhir orang Talang Mamak.
Saya menyampaikan maksud itu kepada Gundok. Dia sedikit bingung dengan penjelasan saya. Apapun itu, intinya saya ingin sekali belajar pada orang Talang Mamak berhubungan dengan sejarahnya, adat istiadat, sistem kepercayaan serta ancaman atas eksistensi mereka.
Supaya bisa fokus, di awal ini saya mencoba memberi batasan wilayah adat orang Talang Mamak. Dalam konteks ini, saya tidak atau belum menyentuh komunitas Talang Mamak yang ada di Bukit Tigapuluh seperti yang diungkap Kurniawan dan Marahalim Siagian.
Lantas, saya coba mendeliniasi wilayah pemahaman saya pada wilayah Tiga Balai yang disampaikan oleh Singletone. Tapi, lagi-lagi saya tak menemukan deliniasi yang tepat. Bahkan, dalam penelusuran lapangan yang saya lakukan, orang Talang Mamak sendiri masih belum mampu memberikan definisi yang tepat atas diri mereka dan wilayahnya.
Informasi yang berkembang justru ada yang bertolak belakang. Saya senang ketika Gilung datang mengonfirmasi. Menurut dia, yang disebut Tiga Balai adalah Balai di Benuawan yang berada di Talang Parit, Balai di Tariang Tiang Raya yang berlokasi di Talang Kedabu dan Balai Kuala Sungai Limau di Sungai Limau.
“Saya sudah tanyakan kepada Batin di Talang Parit. Tiga Balai adalah balai yang berada di wilayah yang saya sebutkan tadi,” kata Gilung.
Sementara, dari catatan Singletone, saya menangkap yang dimaksud dengan Tiga Balai adalah wilayah-wilayah dalam kekuasaan Raja Indragiri, yakni: Talang Durian Cacar, Talang Parit, Talang Perigi, Talang Kedabu, Talang Tujuah Buah Tangga, Talang Jerinjing, Talang Selantai, dan Talang Sungai Limau.
Saya kebingungan dengan Talang Selantai yang dimaksud Singletone. Gilung menginformasikan, yang dimaksud Talang Selantai adalah wilayah yang kini disebut Desa Talang Selantai yang berbatasan dengan Desa Durian Cacar. Menurutnya, orang Talang Selantai sudah tidak mau lagi disebut sebagai orang Talang Mamak. Alasannya, mereka sekarang adalah penganut agama Islam, berbeda dengan kepercayaan Langkah Lama yang diyakini sebagai kepercayaan asli orang Talang Mamak.
Baiklah, di titik ini sudah sedikit ada gambaran tentang wilayah umum Talang Mamak. Saya fokus saja mengulik catatan tersisa di Payung Tiga Sekaki. Tapi sejujurnya, hal ini mesti diperdalam agar entitas orang Talang Mamak menemui titik temu. Catatan yang dikemukan Singletone penting menjadi rujukan, terutama kaitannya dengan kerajaan Indragiri.
Kendati begitu, saya mendapat sedikit informasi tentang wilayah Tiga Balai dalam versi yang lain. Berbeda dengan versi yang diungkap Gilung sebelumnya. Menurut sumber informasi itu, Tiga Balai adalah wilayah yang mula-mula didatangi pendiri Talang Mamak, yakni Patih Nang Betiga, anak dari Patih Nang Sabatang.
Wilayah itu adalah Talang Sungai Limau. Tiga Balai ada di wilayah Sungai Limau sebagai wilayah awal perkembangan orang Talang Mamak. Dari sini, terjadi perkembangan manusia hingga masing-masing anak mendirikan wilayah kekuasaannya sendiri, yakni: Talang Parit, Talang Perigi dan Talang Durian Cacar.
Selanjutnya, Obdeyn memberi keterangan tentang Suku Nan Anam yang berlokasi di Durian Cacar (pemukiman utama, kepala adat orang Talang Mamak bergelar Toe’/Datuk Patih), Talang Parit, Talang Perigi, Talang Kedabu, Talang Sungai Limau dan Talang Selantai. Masing-masing pemukiman dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Penghulu atau Batin. Talang Perigi, Talang Parit dan Durian Cacar berfungsi sebagai ibu-kampung. Sementara Talang Kedabu, Talang Selantai dan Sungai Limau sebagai anak kampung. Wilayah ini juga dikenal dengan sebutan anam (enam) suku atau suku nang anam.
“Walau bagaimanapun mereka dipimpin oleh Toe’ (datuk) Patih. Orang mengatakan tentang suku nan anam juga sebagai suku tiga balai, ” kata Obdeyn.4
Suku, dalam terminologi orang Talang Mamak adalah keturunan yang berbasis wilayah tempat tinggal. Sebagaimana diungkap Gundok, suku di Talang Mamak tidak dihitung berbasis garis keturunan, tapi dihitung berdasarkan daerah tempat tinggal. Dalam hal ini, suku nang anam adalah suku yang tersebar di 6 wilayah yang disebutkan sebagai ibu dan anak kampung.
Mulanya, informasi tentang Batin dan Kebatinan cukup membingungkan. Saya dibingungkan dengan penyebutan Batin. Satu ketika, orang Talang Mamak yang saya temui menyebut Batin sebagai satuan wilayah adat. Baiklah, kata saya. Tapi di ketika lain, mereka juga menyebut Batin untuk menyebutkan nama gelar pemimpin adat tertinggi di wilayah itu.
Cukup lama saya meresapi info ini. Pada akhirnya saya pahami, bahwa Batin adalah jabatan orang yang memimpin wilayah adat. Sementara Kebatinan saya simpulkan sebagai wilayah adat itu sendiri, banyak juga yang menyebutnya luak batin. Misalnya: Batin Gundok memimpin Kebatinan Ampang Delapan, atau Batin Irasan yang memimpin Kebatinan Talang Parit. Begitu pula yang lain.
“Di beberapa tempat, Batin diganti namanya menjadi Ria, ada pula yang dipanggil Muncak,” kata Gundok.
Ya, saya mengerti sekarang. Tapi menilik lebih jauh tentang struktur Pemerintahan Adat Kebatinan menjadi tantangan tersendiri. Saya dihadapkan pada berbagai informasi yang saling tumpang tindih. Beberapa informasi bahkan tampak samar dan absurd.
Namun baiklah, mari kita mulai petualangan ini.
(Bersambung)
*Tulisan ini merupakan bagian dari Buku Talang Mamak di Tepi Zaman karya Syafrizaldi Jpang, yang diterbitkan oleh AsM Law Office bekerjasama dengan Rights and Resources Initiative pada 2020. Adatpedia.com akan menerbitkan 10 seri dalam buku tersebut secara bersambung setiap minggu.