Merekam Kekayaan Hutan Adat
Adatpedia – Bagi anak muda, hutan adat menyimpan berbagai kekayaan. Mereka merekamnya dengan telepon genggam. Swafoto menjadi jurus andalan.
Dwi Ayu Dahlia (19) lebih banyak menggunakan telepon genggam untuk merekam peristiwa, foto maupun video. Di kampung Ayu, Kampung Sanjan, Desa Sungai Mawang, Kecamatan Kapuas di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, internet adalah barang langka.
“Maklum, disini sinyal susah. Kami mendapat sinyal hanya pada tempat tertentu. Itupun belum tentu four ji (4G), apalagi four ji plus (4G+),” ungkapnya.
Pagi itu, 12 Januari 2020, dia sudah berada di Hutan Adat Tomawankng Ompu’. Tepat di tengah hutan adat seluas 237 hektare itu, Ayu melancarkan berbagai jurus swafoto, khas anak muda. Bergaya, senyum dengan kepala miring dan salam dua jari.
Dalam perjalanan, Ayu merekam kekayaan alam hutan adat. Rencananya, hutan adat itu akan dikembangkan menjadi salah satu wilayah wisata alam pendidikan. Dia beruntung karena ayahnya, Petrus dengan senang hati menemani perjalanan Ayu.
Menurut Petrus, dirinya sengaja mengajak Ayu supaya dapat belajar banyak dari kekayaan kampungnya sendiri. Dia ingin anak-anak Sanjan menjadi anak-anak pembelajar, tangguh di masa depan.
“Belajar dari alam merupakan salah satu cara membangun karakter anak,” kata Petrus.
Di perjalanan, Petrus telah memperkenalkan berbagai buah hutan pada Ayu. Mereka bertemu durian, dan menyantap buah enak itu. Mereka membawa beberapa buah durian yang masih baik guna dimakan bersama di pondok hutan.
Ayu dan ayahnya adalah bagian dari Komunitas Dayak Kodatn Sebiau, sub suku Dayak dari kelompok Bidayuhik. Kelompok sub suku Dayak lainnya yang terkenal adalah Ibanik.
Komunitas Dayak Kodatn Sebiau di Kampung Sanjan kini memang tengah bergeliat. Mereka tengah menyiapkan Hutan Adat Tomawankng Ompu’ menjadi salah satu lokasi wisata alam dan pendidikan. Aksesnya yang tidak terlalu jauh dari pusat Kabupaten Sanggau, membuka peluang lebih lebar.
“Dari Sanggau jaraknya hanya 17 kilometer. Kalau saya sering di Pontianak, jaraknya hampir 230 kilometer,” kata Ayu.
Petrus, juga memperkenalkan Ayu dengan jenis-jenis tanaman obat. Beberapa remaja sepantaran Ayu dan yang lebih muda terlibat dalam obrolan ringan tentang pohon. Petrus juga menjelaskan hubungan antara pohon, tanah, air dan udara.
“Sebatang pohon menjadi tempat hidup bagi banyak sekali makhluk. Mulai dari yang bersarang di akar dan tanah, sampai burung-burung yang memanfaatkan ranting dan dahan. Buah dan bunga menjadi bahan makanan bagi burung, lebah dan tupai,” papar Petrus.
Petrus menjelaskan sebuah siklus kehidupan dimulai dari dukungan tanah, air dan udara terhadap tumbuh-kembang sebatang pohon. Ketika pohon terus tumbuh, dia akan turut menjaga agar tanah tetap lembab karena sinar matahari terhalang kanopi dan tidak langsung masuk ke lantai hutan.
Bagi para remaja itu, penjelasan Petrus masuk akal. Sebagian telah mereka pelajari di sekolah. Namun sebagian besar baru mereka pahami hari itu.
“Nanti saya mau ajak teman di kampus untuk melakukan penelitian tanaman obat di sini,” ungkap Ayu yang kini menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Tanjungpura di Pontianak.
Hutan Adat Tomawankng Ompu’ mulai dikelola sejak 1930. Inisiatif hutan adat bermula ketika pemangku adat di Sanjan mengajak warga untuk melindungi sebuah kawasan bertutupan hutan. Kawasan tersebut tidak boleh dibuka untuk perladangan.
“Pada 1953, sudah dilakukan penataan batas. Orang di sini sudah tahu mana saja batas hutan adat,” ungkap Petrus.
Hutan ini, lanjut Petrus merupakan bagian dari wilayah adat Kodatn Sebiau. Wilayah adat membentang sepanjang Sungai Sekayam. (Syafrizaldi Jpang)