Hierarki Penata Teritori
Di rumah Batin Gundok, Sagaf menyampaikan pengantar melalui pepatah adat. Saya tak begitu paham yang dia ucapkan, tapi secara keseluruhan saya memahami, Sagaf sedang bertemu dengan pucuk pimpinannya.
Gundok tersenyum, dia membalas pengantar Sagaf. Lagi dengan pantun dan pepatah yang sulit dimengerti. Intinya, Gundok menyampaikan bahwa dia dan keluarganya sangat senang menerima saya sebagai tamu mereka.
Saya berpelukan dengan Gundok. Kami pernah bertemu beberapa kali dalam kesempatan lain. Namun baru kali ini saya punya kesempatan menyambangi rumahnya. Saya berbasa-basi, menanyakan kabar keluarga dan kesehariannya. Gundok tampak senang.
Kami lantas berbicara tentang jauhnya perjalanan yang harus saya tempuh. Dari Pekanbaru, Rengat mencapai jarak lebih dari 200 kilometer. Dari Rengat, saya harus menempuh jalan aspal bagus menuju Belilas, lalu melewati pusat Kecamatan Rakit Kulim sebelum singgah di rumah Sagaf dan sampai di rumah Batin Gundok.
Dia tersenyum. Ya, jawabnya, jalanan di sini tidak sama seperti di kota yang beraspal hitam. Di Ampang Delapan, jalan tanah kuning yang dikeraskan sudah sangat menguntungkan.
Berkait jalan, saya dan Gundok menyambangi Hutan Adat Durian Di Rawang beberapa kilometer dari rumahnya beberapa hari kemudian. Dalam perjalanan kami menuju hutan adat, saya mendapati bahwa jalan di kampung Gundok memang mestinya menjadi isu utama. Betapa tidak, tak satupun jalan yang kami lewati yang tersentuh pengerasan jalan. Bahkan tak juga kerikil. Yang ada hanyalah bekas rambahan dan pembukaan jalan baru. Sama sekali belum ada pengerasan.
Kami berhenti di beberapa titik. Hujan dan air limpasan agaknya telah menyeret tanah sehingga membentuk lubang menganga. Beruntung karena saya membawa kendaraan lapangan Land Rover. Jadi tak banyak kendala di jalan. Sahabat saya, Otoy, mengendalikan mesin tua keluaran tahun 1981 itu dengan lincah.
Kembali ke rumah Gundok, dia masih bercerita tentang pertemuan terakhir kami. Saya menangkap kesan, Gundok adalah seorang yang cerdas. Dia bisa mengingat detil pembicaraan kami tentang janji saya untuk datang ke kampungnya.
“Untung di antar Sagaf. Kalau tidak, mungkin tidak saya terima,” canda Gundok.
Sagaf tersenyum. Dia menimpali, kalau tidak, mungkin bisa kena usir. Kami tertawa bersama. Tapi saya masih mencoba menyesuaikan gelombang pembicaraan. Sagaf beberapa kali menyela pembicaraan itu dengan sikap hormat.
Pada akhirnya, Sagaf pamit pulang karena hari telah menjelang petang. Dia meninggalkan saya dan Otoy di rumah Gundok. Istri Gundok tersenyum bersama seorang anaknya. Kami melepas kepergian Sagaf.
Rumah Gundok, agak mirip rumah Sagaf di bagian dalam. Hanya ada sebuah ruangan besar seukuran sembilan kali sembilan meter per segi. Rumah itu dilengkapi sebuah beranda yang terletak persis di depan pintu masuk. Di sebelah dalam, ada sebuah ruang tak bersekat berukuran tiga kali sembilan meter per segi. Ruang itu hanya dibatasi sebuah balok kayu yang posisinya lebih tinggi sekitar sepuluh senti meter dari lantai.
“Ini balok pembatas,” kata Gundok.
Ruangan yang dibatasi balok itu hanya boleh ditempati oleh kaum laki-laki. Saya memerhatikan sepanjang tinggal di rumahnya, tak sekalipun istri Gundok melewati batas itu untuk duduk bersama kami. Kalaupun kami tengah berdiskusi, istrinya memilih untuk duduk di bagian belakang yang dekat dengan sebuah kamar, atau duduk di posisi yang dekat dengan pintu belakang.
Menurut Gundok, orang Talang Mamak kerap berkumpul malam hari. Biasanya pembicaraan seputar adat dilakukan di rumah batin. Dan, hanya ruang depan yang dibatasi balok kayu itu yang digunakan untuk duduk. Perempuan tak pernah duduk di dalam ruang berpembatas itu.
Saya beruntung karena diantarkan oleh Sagaf. Kendati saya sesungguhnya menuai janji dengan Gundok untuk bertandang ke rumahnya. Tapi secara adat, saya tidak mungkin datang sendiri langsung ke rumah Gundok.
Gilung telah mengatur supaya saya diantarkan oleh Sagaf, kakaknya. Mengapa Sagaf? Karena dalam struktur Kebatinan Adat Ampang Delapan, Sagaf menjabat sebagai Pemangku atau Mangku, posisinya persis di bawah Batin. Saya mungkin saja diantarakan oleh Ketuha Adat ke rumah Batin Gundok, tapi Gilung beranggapan bahwa akan lebih baik saya diantar langsung oleh Pemangku.
Begitulah. Orang Talang Mamak hidup dalam hierarki kepemimpinan oligarki [5] yang kuat. Mungkin bila mana saya tidak diantarkan Sagaf, pembicaraan dengan Gundok akan berlangsung kering dan tertutup. Artinya, akan sulit menggali informasi tentang masalah yang berkaitan dengan adat.
Gundok mengonfirmasi hal tersebut. Menurutnya, segala sesuatu yang dibawa bawahannya – Mangku atau Manti – adalah hal yang bersifat final. Jikapun ada pertimbangan lain, itu adalah hak prerogatif dirinya sebagai Batin.
Demikian pula halnya dengan struktur di bawah Mangku atau Manti, Ketuha Adat datang pada Mangku dan Manti setelah semua urusan diselesaikan. Jikapun ada yang belum beres, maka Mangku atau Manti akan membantu menyelesaikan sebelum dibawa ke tingkat Batin.
“Kami para Batin hanya menerima buah masak,” katanya berkias.
Saya dan Gundok terlibat pembicaraan panjang dan serius. Struktur Kebatinan yang disampaikan Gundok saya konfirmasi ke beberapa Batin lain guna mendapat masukan.
Bagi Gundok, struktur kepemimpinan adat di wilayahnya memberikan keleluasaan bagi para pemimpin di bawah Batin untuk mengembangkan pertimbangan-pertimbangan yang arif dan adil. Dia percaya, para pengisi struktur pemerintahan batin itu memudahkan pengambilan keputusan. Karena tidak semua persoalan akan sampai ke tangan Batin, kecuali untuk persoalan-persoalan pelik yang membutuhkan penerawangan lebih lanjut.
Penerawangan, saya ingin sedikit berbagi soal ini. Penerawangan dalam pengertian bebas berarti sesuatu yang dilakukan oleh seseorang untuk melihat masa depan. Ini agak mirip dengan ramalan, tapi terawangan sepertinya bersifat lebih magis.
Ya, Gundok membenarkan. Penerawangan yang dia lakukan adalah untuk meminta pendapat arwah leluhurnya. Setidaknya, sedikit bocoran untuk masa depan dari keputusan yang dia ambil.
“Orang Talang Mamak, hidup dalam tuntunan arwah leluhur. Kami percaya leluhur kami terus membantu,” kata Gundok.
Batin, lanjut dia, dibantu oleh dukun dan orang pintar yang akan menerawang dampak dari berbagai keputusan yang akan dia ambil. Dukun dan orang pintar memiliki kemampuan untuk menelisik masa depan. Dengan itu, Gundok merasa percaya diri memutuskan berbagai macam hal yang sampai ke rumahnya.
Ketuha Adat diangkat oleh masyarakat berbasis keluarga tertentu. Mereka memimpin para Anak/Bapak. Kelompok ini disebut dengan Ninik Mamak. Ninik Mamak adalah para pewaris dari keluarga-keluarga tertentu yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan sangat dekat.
Lagi, ini sedikit ada persamaan dengan fungsi Ninik Mamak di Minangkabau. Ninik Mamak di Mingkabau adalah sekumpulan orang yang memiliki hak pengambilan keputusan bersama dalam keluarga. Para Ninik Mamak biasanya dipimpin seorang Datuk.
Kecuali itu, di Batang Tinaku agak berbeda. Pimpinan tertinggi disebut Muncak. Di bawahnya ada Mangku dan Manti. Ada juga dukun sebagai pembantu Muncak. Sementara Anak Bapak dan Ketuha Adat tidak ada, digantikan dengan Ninik Mamak.
Masing-masing Batin, menginduk pada salah satu Batin yang termasuk dalam Payung Tiga Sekaki. Gundok sendiri menginduk pada Patih Durian Cacar.
Diskusi kami terus berkembang. Kadang saya melipir menanyakan keseharian Gundok. Kami terus mencoba mengakrabkan diri satu sama lain. Otoy terlibat pembicaraan ini dengan seru. Dia juga mengisahkan perjalanan orang tuanya ke Talang Mamak di zaman dulu. Menurut Otoy, kisah perjalanan orang tuanya itu telah menjadi inspirasi tersendiri buat dirinya.
Pada akhirnya kami lelah. Tikar pandan yang telah membentang sebagai alas duduk kini telah berubah menjadi alas punggung. Kami merebahkan diri dalam lamun ketika malam menyergap.
Catatan Kaki:
5. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Sementara istilah oligarki mengandung pengertian sebentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
(Bersambung)
*Tulisan ini merupakan bagian dari Buku Talang Mamak di Tepi Zaman karya Syafrizaldi Jpang, yang diterbitkan oleh AsM Law Office bekerjasama dengan Rights and Resources Initiative pada 2020. Adatpedia.com akan menerbitkan 10 seri dalam buku tersebut secara bersambung setiap minggu.