Organisasi Lingkungan Menggugat Intervensi atas Gugatan Masyarakat Adat Papua
Adatpedia – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengugat intervensi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, dalam perkara Hendrikus Woro melawan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua. Gugatan diajukan 17 Mei 2023.
Dalam siaran pers yang diterima Adatpedia, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian menyebut, gugatan diajukan atas terbitnya Surat Keputusan Kepala DPMPTSP Nomor 82 Tahun 2021, tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan Kapasitas 98 Ton TBS/Jam, seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
Staf Advokasi Yayasan PUSAKA Tigor Hutapea mengatakan, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Walhi memiliki kepentingan di pengadilan untuk membela hak masyarakat adat dan lingkungan hidup di Papua.
“Pemberian izin kepada perusahaan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan mengkonversi kawasan hutan Papua dalam skala luas, telah melanggar hak masyarakat adat dan tidak sesuai dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim,” ujar Tigor.
Dua organisasi itu menilai, penerbitan objek gugatan menunjukkan belum adanya rasa keadilan, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran. Selain itu juga diduga adanya pemalsuan data, dokumen, dan informasi.
“Wilayah yang ditetapkan menjadi konsesi PT Indo Asiana Lestari, merupakan Ekosistem Hutan Adat Awyu Woro, yang berperan penting terhadap peradaban masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan,” ujar Uli Arta.
Menurutnya, keberadaan hutan menjadi sumber air bersih bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal di dua belas kampung, yaitu kampung Bangun (Yare), Kampung Kowo, Kampung Kowo Dua, Kampung Afu, Kampung Hello, Kampung Kaime, Kampung Memes, Kampung Piyes, Kampung Watemu, Kampung Obinangge, Kampung Uji Kia dan Kampung Metto.
“Hutan dan aliran sungai di daerah itu juga ruang produksi untuk berburu dan memancing ikan, menangkap buaya, dan meramu sumber pangan. Apalagi secarafilosofi dan pandangan masyarakat adat Papua ada konsep bahwa tanah dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya memiliki kedudukan dan posisi yang penting yang mempengaruhi gerak hidup komunitas masyarakat adat ” ujar Uli.
Dalam siaran pers itu, Walhi dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga menyebut,masyarakat adat Papua meyakini bahwa tanah adalah harapan Bersama dan relasi iman. Konsep ini menurut mereka sangat penting dan merupakan landasan kehidupan bagi masyarakat adat Papua.
“Karena tanah dianggap sebagai mama sejati dan masyarakat adat hidup dan dibesarkan oleh tanah milik mereka, kami menilai pengambilan wilayah adat secara sepihak sama dengan mengambil seluruh kehidupan masyarakat adat,” ujar Tigor.
Untuk itu, mereka berharap agar majelis hakim dapat mengeluarkan putusan yang berpihak kepada masyarakat adat Papua, dengan mengabulkan secara keseluruhan tuntutan masyarakat.
Sebelumnya, dalam persidangan E-Court yang telah berlangsung, majelis hakim telah menerima gugatan intervensi kedua organisasi, persidangan akan dilanjutkan dengan agenda jawaban dari Pihak Tergugat Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua dan pihak Tergugat Intervensi PT Indo Asiana Lestari. (*)