Kisah Belanda Pengaruhi Otoritas Adat Minangkabau dengan Hukum Eropa
Adatpedia – Jauh sebelum Pemerintah Hindia Belanda menguasai Ranah Minang pada pertengahan abad ke-19, seluruh wilayah tersebut telah menerapkan hukum adat Minangkabau selama beratus tahun.
Sejumlah adagium adat menyebutkan otoritas kekuasaan dan hukum yang berlaku saat itu.
Adagium “luhak ba pangulu, rantau barajo” (luhak berpenghulu, rantau beraja) misalnya, menunjukkan bahwa wilayah luhak (Tanah Datar, Agam dan Limapuluah Koto) umumnya diatur oleh penghulu adat. Sementara, wilayah Minangkabau lain di luar itu, diatur oleh raja masing-masing.
Adagium lain “adat salingka nagari, pusako salingka kaum” (adat selingkar nagari, pusaka selingkar kaum) menunjukkan, masing-masing nagari mempunyai otoritas adat masing-masing, bak negara bagian dalam sistem federasi.
Seusai Perang Padri pada 1837, Pemerintah Hindia Belanda bisa disebut menguasai hampir seluruh wilayah Ranah Minang. Belanda menyadari, dalam wilayah yang dikuasai itu, berlaku hukum adat yang jauh berbeda dengan sistem hukum eropa kontinental yang diterapkan di negeri mereka.
Setelah kekuasaan mereka berlangsung beberapa tahun, Pemerintah Hindia Belanda menilai pentingnya menerapkan hukum ala Eropa di Ranah Minang. Ahli hukum mereka datangkan, para pemimpin adat mereka kumpulkan.
Sejarawan Jeffrey Hadler dalam Buku “Sengketa Tiada Putus, Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau” (2010) menulis, Pemerintah Hindia Belanda menggelar rapat besar dengan para pimpinan adat Minangkabau pada 6 April 1865 di Bukittinggi.
Menurut Jeffrey, hadir dalam kesempatan itu, Gubernur Sumatra’s Westkust (Pesisir Barat Sumatra) JFRS van den Bossche. Ia didampingi Residen Dataran Tinggi Padang HA Steijn Parve dan 11 kontroleur alias asisten residen Belanda.
Dari pimpinan masyarakat Minangkabau hadir 76 tuanku laras dan tak terhitung banyaknya kepala suku dan penghulu. Rapat itu dipimpin oleh Timon Henricus der Kinderen, ahli hukum yang datang dari Batavia.
“Pada rapat 1865, Kinderen menyarankan penciptaan suatu birokrasi regional, dengan pegawai-pegawai Belanda lokal mengawasi pegawai-pegawai Minangkabau yang akan bertanggungjawab menjalankan peraturan-peraturan,” tulis Jeffrey.
Kinderen adalah ahli hukum Belanda yang datang ke Hindia Belanda sejak 1848. Claudine Salmon dalam catatan kaki Buku “Sastra Indonesia Awal” menyebut, Kideren menyelesaikan doktor hukum di Leiden pada 1847. Di Hindia Belanda ia seorang yang terkemuka dalam sistem peradilan, sampai mencapai posisi puncak sebagai Presiden Mahkamah Agung Hindia Belanda pada 1871.
Tuanku Laras yang hadir dalam rapat Kinderen, merupakan jabatan baru yang ada di Minangkabau sejak 1823, saat Belanda menyusun pemerintahan di Padang. Jabatan ini dikenal dengan sebutan Tuanku Lareh atau Angku Lareh dalam perbincangan sehari-hari di Minangkabau.
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam sebuah wawancara dengan penulis sebelumnya menyebut, di bawah gubernur, pemerintah kolonial Belanda di wilayah Sumatra Barat saat itu menerapkan pemerintahan ganda. Pada awal masa kekuasaan mereka itu, Belanda melibatkan masyarakat pribumi.
Dalam Buku “Pemerintahan Sumatera Barat, Dari VOC Hingga Reformasi” (2006) Gusti Asnan menulis, pelibatan pribumi dalam pemerintahan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dimulai pada 1823.
Dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda kala itu, ada residen yang memimpin keresidenan, dan di bawahnya ada afdeeling yang dipimpin kontroleur atau asisten residen. Di samping itu juga pemerintahan yang dipimpin oleh orang Minang. Ada regen yang memimpin keregenan, di bawahnya ada tuanku Laras yang memimpin kelarasan. Tiap tuanku laras, membawahi beberapa nagari.
Wilayah keresidenan, keregenan dan kelarasan ini berulangkali berubah, tergantung kepentingan ekonomi dan pertahanan Belanda. Belakangan, ketika pemerintah Hindia Belanda sudah makin kuat, semua keregenan mereka bubarkan.
Sistem pemerintahan sentralistis ini kemudian diselaraskan dengan sistem hukum yang juga terpusat dan di bawah kontrol pemerintahan kolonial.
Usai pertemuan dengan para tuanku lareh dan penghulu, menjelang akhir abad ke-19 di Padang didirikan Landraad (pengadilan) pertama yang mengadili perkara perdata dan pidana pada tingkat pertama. Landraad kedua mereka dirikan di Sawahlunto pada 1912 dan kemudian beberapa Landraad lainnya.
Untuk hukum materiil, menurut Jeffrey, pada 1872, van Harencarspel, yang menyebut diri sendiri secretaris basar pemerintah kolonial, membuat draf peraturan-peraturan yang mengontrol pergerakan dan perilaku domestik untuk semua penduduk non-Eropa koloni.
Kemudian, pada 1894, direktur Sekolah Radja menerjemahkan dan mengadaptasi Undang-Undang Polisi untuk dicocokkan dengan keadaan Minangkabau.
“Undang-Undang polisi ini, mencakup peraturan secara luas untuk mengontrol masyarakat, khususnya untuk menjaga ketertiban umum, keamanan, moral dan kesehatan,” tulisnya di catatan kaki.
Undang-undang tersebut, menetapkan hukuman denda bukan hanya untuk pergerakan dan residensi yang tidak berizin tapi juga untuk apa yang dianggap perilaku tidak pantas di dalam rumah gadang.
“Denda-denda dijenjang menurut pelanggaran dan mengungkapkan apa saja yang menjadi prioritas Belanda.”
Sebagian besar pelarangan ini mudah diawasi, diselidiki dan dibuktikan. Seperti salah diam, salah bermalam dan pembuatan senjata. “Tindakan-tindakan kriminal lain sehubungan hawa nafsu jauh lebih sulit dibuktikan dan membutuhkan pertimbangan-pertimbangan atas kesaksian dan tuduhan.”
Selain undang-undang tersebut, juga ada beberapa upaya kodifikasi hukum adat menjadi hukum tertulis gaya sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut Belanda.
Menurutnya, orang Minangkabau berusaha membereskan perselisihan tanpa bergantung pada Belanda. Namun, perbedaan-perbedaan yang tidak bisa diselesaikan membuat sistem peradilan kolonial menjadi arbitrator pilihan terakhir.
“Sistem legal baru itu, tentu saja, menghasilkan juga ahli-ahli hukum pribumi, jaksa dan jurusita,” tulisnya.
Sepuluh tahun setelah rapat pertama, pada 14 Desember 1875 Kinderen mengadakan lagi rapat sejenis. Ia mengevaluasi sejauh mana keberhasilan penerapan birokrasi legal di Sumatra Barat.
Menurut Jeffrey, upaya Belanda mempengaruhi Minangkabau ke dalam budaya gugat-menggugat secara hukum sebagian besar berhasil. “Walaupun upaya-upaya untuk meregulasi perkawinan diblok.”
Selama bergenerasi-generasi di bawah Belanda, tulis Jeffrey, Minangkabau hidup di bawah hukum kolonial dan diawasi oleh polisi pribumi. Denda diterapkan, dan kegagalan membayar berarti masuk penjara selama beberapa waktu.
Sistem legal kolonial, menurut Jeffrey Hadler, adalah satu lagi intrusi (penerobosan) ke dalam “rumah gadang”. Hal ini sudah dimulai selama Perang Padri dan tapi bertambah cepat dan dibuat prosedural setelah rapat-rapat yang digelar oleh Kinderen. (Hendra Makmur)
Tulisan ini diolah dari artikel penulis “Saat Hukum Belanda Merasuki Otoritas Adat Minangkabau” yang sebelumnya terbit di langgam.id, disunting ulang untuk diterbitkan di adatpedia.com.